Jakarta – Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 1 Anies Baswedan merespons terkait dengan penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan uji materiil atau judicial review pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Keputusan itu dirilis MK pada hari ini, Jumat (2/2/2024).
Pemisahan DJP dengan Kemenkeu menjadi salah satu program yang masuk ke dalam visi-misi sejumlah paslon, termasuk di antaranya Anies dan Cawapresnya Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Pasangan dengan singkatan AMIN itu ingin membentuk Badan Penerimaan Negara yang posisinya di bawah presiden langsung.
Ketika dimintai tanggapan terkait dengan keputusan MK tersebut, Anies tak berkomentar banyak. Pasalnya, ia mengaku baru mendengar informasi terkait keputusan MK tersebut.
“Saya belum mendengar. Keputusan itu kapan keluarnya?” kata Anis, dalam konferensi pers usai acara Sarasehan DPD RI Bersama Calon Presiden RI 2024-2029, di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Jumat (2/2/2024).
Karena baru mendengar informasi tersebut, ia menyatakan akan mempelajari lebih lanjut terkait keputusan itu, barulah dirinya siap untuk memberikan respons lanjutan.
“Tadi (keputusan MK dirilis)? Saya baca dulu ya. Saya baca dulu konsekuensinya apa,” ujarnya.
Pembentukan Badan Penerimaan Negara sendiri lahir dengan gagasan pembangunan kelembagaan yang berintegritas dan akuntabel melalui pembagian kewenangan yang harmonis antar instansi. Jika begitu, instansi yang selama ini mengumpulkan penerimaan negara yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak lagi berada di bawah Kementerian Keuangan.
Baca juga:
MK Tolak Uji Materiil Pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu!
Sebelumnya, permohonan uji materiil atau judicial review pemisahan DJP dari Kemenkeu sendiri diajukan seorang konsultan pajak Sangap Tua Ritonga. Ia menguji Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Menurut pemohon, penempatan DJP sebagai subordinasi atau di bawah Kemenkeu sebagaimana dimuat dalam aturan di atas bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dinilai perlu dibentuk lembaga khusus setingkat kementerian yang memiliki otoritas memungut pajak/pendapatan negara terpisah dari Kemenkeu.
“Dalil pemohon berkenaan dengan penempatan DJP sebagai subordinasi atau di bawah Kemenkeu sebagaimana dimuat dalam norma Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 UU 39/2008 dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU 17/2003 bertentangan dengan UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi MK Daniel Yusmic P Foekh dalam putusannya, dikutip Kamis (1/2/2024).
“Sehingga adanya kepentingan untuk membentuk lembaga khusus setingkat kementerian yang memiliki otoritas memungut pajak/pendapatan negara terpisah dari Kemenkeu adalah tidak beralasan menurut hukum,” tambahnya.
Daniel menyatakan hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 17 ayat (4) dan Pasal 23A UUD 1945. Hal dimaksud sewaktu-waktu dapat diubah sesuai tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada maupun sesuai perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan, atau dapat pula melalui upaya legislative review.
Terkait dengan pembentukan kementerian negara serta ketentuan mengenai pajak yang diatur dalam UU, justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances terhadap kekuasaan negara, in casu Presiden secara kelembagaan oleh DPR RI.
Bagi MK, sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, serta tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan apalagi merupakan mandat dari rumusan norma pasal UUD 1945, tidak ada alasan baginya untuk membatalkan atau memaknai norma Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 UU 39/2008 dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU 17/2003 sebagaimana petitum pemohon.